Oleh : Saifudin Zukhri, SKp.,M.Kes ( Koordinator Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana
Stikes Muhammadiyah Klaten)
Sejak ditemukannya kasus positif pada bulan Maret 2020 lalu, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia sampai saat ini masih terus meningkat, sampai dengan tanggal 18 Juni 2019 Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19 melaporkan ada 42.762 kasus, dengan penambahan lebih dari 1.300 pada hari itu. Tingginya jumlah penderita Covid-19 tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan tetapi juga pada sektor-sektor lain, yaitu sektor sosial, politik, ekonomi dan pendidikan. Karakteristik virus Corona penyebab Covid-19 yang mudah menular melalui droplet dan kontak dekat membawa implikasi pada upaya pencegahan penularan dengan pengaturan jarak fisik (physical distancing) dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Konsekuensi dari penerapan PSBB adalah berkurangnya aktifitas sosial dan kegiatan ekonomi, yang berdampak pada berkurangnya pendapatan masyarakat.
Penerapan PSBB dalam jangka waktu yang lama, akibat tidak pastinya kapan pandemic Covid-19 akan berakhir, bisa berdampak semakin memburuknya perekonomian, penurunan daya beli masyarakat dan bertambahnya angka kemiskinan dan penangguran. IMF memprediksi ekonomi global akan jatuh ke minus 3 persen pada 2020. Proyeksi ini turun 6,3 poin dari estimasi 3,3 persen yang dipatok pada Januari lalu.
Menyadari hal tersebut, disertai keterbatasan dana untuk menjamin kesejahteraan penduduk selama PSSB mendorong pemerintah untuk secar perlahan menerapkan kebijakan New Normal. Wabah Pandemi covid-19 mau tidak mau harus memiliki solusi terbaik di dalam semua sisi. Termasuk dari sisi ekonomi dan kesehatan. Dihati kecil sebagian besar masyarakat yakin mereka takut dengan Virus yang sudah memakan jutaan rakyat di Dunia, disisi lain mereka harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan yang ada di dalam kehidupan mereka. Menjadi persoalan yang pelik, antara ekonomi dan kesehatan. Sejatinya kesehatan dan keselamatan rakyat juga harus menjadi prioritas, bukan karena untuk membuka ekonomi angka kesakitan akhirnya melonjak tinggi dan bisa dibayangkan jika angka selalu melonjak tinggi, maka pemutusan rantai terhadap Covid-19 akan sulit di lakukan. Kombinasi kebijakan untuk meredam pandemic dan mencegah resesi ekonomi perlu dilakukan. Namun demikian pemeliharaan kesehata dan kemanan masyarakat harus menjdai prioritas, karena tanpa kesehatan masyarakat tidak bisa produktif. “Berdasarkan apa yang kami pelajari, meredakan penyebaran virus corona adalah yang paling efektif untuk memulai kembali ekonomi,” kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva.
Kunci utama pencegahan penularan Covid di masyarakat adalah mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menjaga jarak, dan memakai masker yang haru dilakukan secara konsisten oleh seluruh masyarakat. Ketidak siplinan masyarakat dalam mentaati prokol kesehatn tersebut dapat berdampak meningkatnya jumlah pasien Covid-19 dan memburuknya ekonomi. Ynag menjadi maslaha adalah bagaimana cara untuk menjaga kedisplinan masyarakat dalam melaksankan protokol kesehatan.
Dasar Teori Kedisiplinan
Kedisiplinan merupakan sikap dan perilaku untuk mematuhi peraturan atau anjuran atau protokol secara konsisten (terus-menerus). Salah satu model yang dapat menjelaskan tentang perilaku disiplin adalah model terintegrasi (Integrated Model). Model terintegrasi terdiri dari teori determinasi diri (self-determiation theory) dari Edward L. Deci and Richard Ryan dan teori perilaku terencana (planned bivior theory) Bandura. Model terintegrasi ini menekankan proses-proses dimana dukungan terhadap kebutuhan psikologis dan motivasi secar langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan kepercayaan, keingininan (intensi), dan perilaku. Menurut model ini, apabila lingkungan sosial memberikan dukungan terhadap kebutuhan psikologis dasar sesorang , yaitu otonomi (autonomy), kemamapuan (competence), dan keterhubungan (relatedness), maka individu tersebut akan lebih mudah menunjukan motivasi otonom (yaitu bertindak yang selaras dengan keinginan, kepuasan, tujuan pribadi dan nilai-nilai, dari pada motivasi terkendali (yaitu bertindak karena adanya tekanan dari luar, tekanan internal, atau rasa ego). Mereka juga lebih mudah untuk memilki kepercayaan kognitif sosial yang lebih baik, (seperti sikap, norma subyektif, memiliki kontrol perilaku)erta menunjukkan perilaku patuh (disiplin) dalam perilaku kesehatan. Bila dikaitkan dengan perilaku kedisiplinan dalam perilaku pencegahan Covid-19, model ini menjelaskan bawa, apabila individu-individu itu merasakan bahwa lingkungan sosialitu memeberikan dukungan terhadap rasa otonomi, kemampuan, dan ketrkaitan dengan pencegahan Covid-19, maka mereka akan memilki motivasi internal (autonomus motivations, memiliki sikap dan norma pribadi yang positif, serta memiliki kemamapuan mengontrol perilaku untuk melkukan tindakan pencegahan Covod-19).
Mengapa Masyarkat Patuh atau Tidak Patuh Terhadap Anjuran Pencegahan Covid-19 ?
Law enforcement
Saat pandemic dan penerapan PSBB, pemerintah menetapkan bebrapa peraturan seperti pembatasan jarak sosial, penggunaan masker, pembatasan penumpang dan lain-lain. Pemberlakuan peraturan tersebut beserta sangsi pelanggarannya merupakan contoh kekuatan eksternal yang dapat mendorong munculnya motivasi terkontrol (controlled motivation). Menurut model terintegrasi, perilaku yang ditimbulkan oleh motivasi terkontrol hanya akan berlangsung apabila kekuatan ekternal (missal satpol pp, polisi) tersebut ada, akan tetapi tidak bertahan lama. Individu dengan moivasi erkontrol akan cenderung tidak patuh terhadap peraturan apabila mereka merasa kemungkinan tertangkap (ketahuan) rendah dan dampak kesehatannya juga rendah.Pemerintah perlu menupayakan langkah-langkah untuk menciptakan lingkungan sosial yang lebih mendukung timbulnya
motivasi otonom, yaitu lingkungan yang meningkatkan rasa otonomi, kemampuan dan keterikatan masyarakat dalam pencegahan Covid-19.
Faktor Sosial dan Lingkungan
Selain penerapan law inforcement, faktor sosial dan lingkungan juga dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadapi kedisplinan melakukan pencegahan Covid-19. Bila dikaitkan dengan model terintegrasi, faktor sosial ini berhubungan dengan aspek psikososial dari model ini. Ada beberapa situasi sosial atau keyakinan pribadi yang dapat memfasilitasi timbulnya motivasi internal (misalnya :”Pencegahan Covid-19 merupakan hal yang ingin saya lakukan karena say bertanggung jawab atas kesehatan saya sendiri”), sikap (misalnya: “ informasi online tentang nilai-nilai pencegahan Covid-19 yang dapat diakses”), norma subyektif (misalnya “ keluarga atau teman-teman yang mengikuti strategi pencegahan Covid-19 mengatkan bahwa saya harus melakukan hal yang sama”), merasakan kendali perilaku (missal : sumber-sumber latihan yang membuanya mudah menarpkan dengan benar ara pencegahan Covid-19 sepreti cara cuci tangan yang benar). Disis lain faktor sosial juga dapat menghambat timbulnya motivasi untuk disiplin. Sebagai contoh, adanya inkonsistensi (perbdaan pendapat) mengenai penggunaan masker di beberapa negara dan organisasi kesehatan, dapat menghambat timbulnya motivais internal (missal” “Apakah saya benar-benar akan mencegah Covid-19 dengan memakai masker ?”) dan sikap (Apakah ada keuntungan menggunakan masker untuk mencegah Covid-19). Adanya keterbatasan alat pelindung diri dapat menggangu perasaan mampu (efikasi) individu dan kontrol perilaku yang dirasakan (“Kurangnya APD menyebabkan pencegahan Covid-19 terganggu dan tak terkendali”). Diskriminasi, labeling dan pengasingan orang yang menggunakan masker di area public, atau kelompok sosial yang mengabaikan tindakan social distancing dapat menghilangkan rasa keterhubungan (relatedness) sesorang dan timbunya norma subyektif dalam pencegahan Covid-19.
Pemerintah dan orgnisasi kesehatan harus menyadari faktor-faktor tersebut dan harus menerapkan kebijakan danstrategi sosial yng mmfasilitasi timbulnya motivasi internal dan kognisi sosial yang mempengaruhi pencegahan Covid-19.
Bagiaman cara melakukannya ?
Berdasarkan model terintegrasi tersebut , beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk menciptakan lingkungan sosial yang kondusif untuk meningkatka kedisiplinan antar lain sebagai berikut :
1. Membantu mesyarakat untuk mengembangkan pengetahuan yang akurat tentang konsekuensi kesehatan dari prilaku yang dilakukan, misal dengan melakuan edukasi secara terus menerus (persisten)
2. Meningkatkan perasaan positif terhadap hasil perubahan perilaku dengan memberikan reinforcement positif, missal dalam bentuk penghargaan.
3. Meningatkan kepercayaan masyarakat akan kemamapuannya melakukan perubahan perilaku, misalnya dengan memberikan sugesti “kita pasti bisa”
4. Mempromsikan visibilitas perilaku kesehatan yang positif pada kelompok yang menjadi panutan seperti public figure, tokoh agama, tokoh masyarakat. . Penunjukan dr. Riesa Subroto sebagai anggota tim komunikasi Gugus Tugas Peanggulangan Covid adalah salah stu contohnya.
5. Meningkatkan penerimaan sosial terhadap perilaku postif kesehatan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat dan kelompok panutan.
6. Meningkatkan komitmen personal dan moral untuk melakukan perubahan perilaku.
7. Membantu masyarakat menyusun rencana dan tujuan perubahan perilaku, waktu yang diperlukan, dan kondisi spesifik yang diharapkan.
8. Meminta masyarakat untuk membagikan rencana perubahan perilaku dan tujuan mereka kepada orang lain.
9. Membantu masyarakat mengembangkan kemamapuan untuk menghadapi situasi yang sulit dan konflik tujuan, misla memberikan bantuan sosial dna pendampingan.
Mencipatkan lingkungan sosial yang dapat memenuhi kebutuhan psikologis dasar berupa otonomi, kemampuan, dan keterhubungan merupakan salah cara meningkatkan kedisplinan terhadap protokolpencegahan Covid-19.