sieradmu.com Yogyakarta – Muktamar memang menjadi sebuah perhelatan yang prestisius dan sekaligus membanggakan bagi pihak yang ditunjuk sebagai tuan rumah. Oleh karena itu wajar saja jika tuan rumah Muktamar berusaha semaksimal mungkin agar perhelatan Muktamar bisa berjalan sukses dan memuaskan semua pihak yang hadir di arena Muktamar. Pembangunan gedung pertemuan atau apapun namanya adalah bagian dari upaya untuk menampilkan penyelenggaraan Muktamar yang membanggakan.

Sebenarnya tidak ada yang salah jika setiap tuan rumah Muktamar berupaya maksimal mensukseskan Muktamar termasuk di dalamnya berupaya membangun gedung yang megah. Bahkan sebenarnya ini menjadi bagian dari semangat ber-fastabiqul khairat, yaitu berupaya untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik.

Namun, ada baiknya kita juga perlu melakukan renungan dan kajian, apakah nantinya setiap Muktamar harus ditandai dengan sebuah pembangunan gedung megah? Apakah setiap Muktamar harus diselenggarakan di tempat yang tuan rumahnya benar-benar memiliki kemampuan finansial yang besar?  Bagaimana dengan wilayah atau daerah yang kebetulan belum terlalu memiliki kemampuan untuk menyiapkan Muktamar yang megah, apakah mereka tidak akan punya kesempatan menjadi tuan rumah Muktamar?

Kita sebaiknya perlu kembali merenungkan apa sebenarnya maksud dan tujuan bagi sebuah penyelenggaraan Muktamar. Selain sebagai ajang musyawarah, Muktamar juga berfungsi sebagai kegiatan syiar dan dakwah. Oleh karena itu ada baiknya Muktamar juga diselenggarakan di tempat yang belum pernah menjadi ajang Muktamar. Meskipun pertimbangan kesiapan dan kesungguhan tuan rumah Muktamar juga merupakan hal yang penting, tetapi pertimbangan lain juga patut diperhatikan. Dengan demikian tuan rumah Muktamar tidaklah selalu dipilih wilayah atau daerah yang mampu secara finansial, tetapi juga perlu diupayakan Muktamar diselenggarakan di tempat yang justru akan mendorong bagi kemajuan dan syiar dakwah Muhammadiyah di tempat tersebut.

Kesuksesan Muktamar tidak harus selalu diukur dengan keberhasilan melakukan pembangunan fisik, tetapi juga bisa ditandai dengan bangkitnya semangat baru bagi tumbuh kembangnya Muhammadiyah di suatu wilayah atau daerah. Hal ini mengingatkan kita kembali pada saat awal-awal persyarikatan Muhammadiyah berdiri. Congres Muhammadiyah (nama lain sebelum berubah menjadi Muktamar) bahkan diselenggarakan di berbagai daerah yang jauh dari pusat dan juga di beberapa daerah di luar Jawa seperti di Bukittinggi (1930), Makassar (1932), Banjarmasin (1935) dan Medan (1939).

Jadi, bukanlah sebuah kekeliruan jika ada keberanian untuk menyelenggarakan Muktamar di tempat yang mungkin belum terlalu dianggap besar Muhammadiyahnya. Memang ada konsekwensi tersendiri jika Muktamar Muhammadiyah diselenggarakan di wilayah atau daerah yang secara finansial dan fasilitas belum cukup kuat. Setidaknya panitia pusat Muktamar harus bekerja lebih keras menyiapkan Muktamar agar bisa berlangsung secara baik. Bahkan jika perlu panitia pusat Muktamar berikutnya sudah langsung dibentuk dan bekerja begitu perhelatan Muktamar akan ditutup. (NUR*)